Besaran UMR (upah minimum regional) Jakarta tahun 2016 sudah direkomendasikan Dewan Pengupahan DKI Jakarta ke Gubernur sebesar Rp3,1 juta, yaitu naik sebesar Rp400 ribu dari UMR Jakarta tahun 2015. Meski demikian, Serikat Pekerja dan Pihak Pengusaha masih keberatan dengan besaran tersebut. Harus diakui, bahwa sistem pengupahan yang menetapkan upah per regional dan berlaku sama dan merata terhadap perusahaan di area regional tersebut belum berjalan dengan efektif. Masih banyak pengusaha yang belum menerapkan UMR karena alasan biaya produksi yang tingi sedang harga jual tidak mungkin dinaikkan karena kondisi persaingan yang semakin ketat. Jangankan UMR tahun 2016, saat ini masih banyak pengusaha yang belum mampu membayar karyawannya sesuai UMR tahun 2014 sebesar Rp2,4 juta. Sedangkan dari sisi pekerja, kenaikan biaya akibat inflasi terhadap harga barang, energi dan transportasi, membuat tingkat kesejahteraan pekerja juga menurun. Jangankan memenuhi kebutuhan memiliki rumah, sedangkan kebutuhan sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan saja masih sulit. Pemerintah melalui UU No. 13 tahun 2013 belum mampu secara adil menempatkan tanggung jawabnya selaku pengayom dan regulator ketenagakerjaan, semua dilemparkan kepihak Pengusaha dan Pekerja begitu saja. Penerapan UMR terhadap badan usaha secara merata tanpa melihat proses produksi badan usaha tersebut berpotensi tidak berimbang, baik bagi Pengusaha maupun Pekerja. Misal bagi badan usaha pabrikasi besaran UMR sulit dipenuhi, sedangkan bagi badan usaha minyak dan pertambangan, upah dasarnya malah di atas UMR. Umumnya bagi badan usaha pabrikasi, apalagi padat karya, kendala utama mereka adalah pada produktivitas karyawan. Besaran UMR yang tidak mempertimbangkan faktor produktivitas cenderung lambat laun menggerus marjin pengusaha dibidang tersebut, karena karyawan makin lama makin tua, meski makin terampil, tapi kecepatan dan kecermatannya makin berkurang, sementara besaran uang pesangon yang dibebankan seluruhnya ke pengusaha membuat situasi serba salah, baik bagi pekerja maupun bagi pengusaha. Dalam artikel ini saya terbatas pada aspek sistem pengupahannya saja, dimana besaran UMR yang didasarkan pada KLH (kebutuhan layak hidup) sudah baik, namun penerapannya yang merata tanpa memperhitungkan aspek produktivitas karyawan, menimbulkan persoalan yang besar bagi pengusaha dan badan usaha. Dari sudut pandang pengusaha, tidak penting berapa besar upah yang mesti mereka keluarkan, apakah 2 juta, apakah bahkan 10 juta, hal itu tidak berarti apapun karena yang utama adalah berapa persentase biaya tenaga kerja langsung yang mereka desain dalam tiap unit biaya produk dan berapa biaya aktualnya. Sebagai contoh, jika persentase biaya tenaga kerja langsung didesain 20% dari harga unit produk, maka selama besaran upah yang diberikan masih dalam batas 20%, pengusaha dapat melanjutkan usahanya dengan baik, namun jika besaran upah tersebut menyebabkan persentase biaya tenaga kerjanya meningkat melebihi 20%, maka marjin mereka akan berkurang. Cara yang paling mudah adalah dengan cara menaikkan harga jual produk, tapi tentu tidak mudah karena akan mempengaruhi daya saing mereka di pasar. Karena itu, penting mempertimbangkan aspek produktivitas bagi sistem pengupahan sehingga tidak memberatkan pengusaha dan badan usaha yang bersangkutan. Misalkan saja UMR 2015 Rp2,7 juta per bulan atau Rp15 ribu per jam, dimana biaya tenaga kerja ditetapkan 20%. Maka harga jual unit produk adalah Rp75 ribu. Jadi jika UMR 2016 dipatok Rp3,1 juta atau Rp18 ribu per jam, sedangkan harga jual produk tidak naik, maka untuk memastikan rasio biaya tenaga kerja tetap 20%, pekerja harus mampu membuat 1,2 unit per jam atau 20% lebih tinggi dari sebelumnya. Dengan cara begini, pengusaha dan badan usaha tidak dibebankan menanggung kerugian atau kehilangan pangsa pasarnya karena terpaksa menaikkan harga jualnya. Tentu pekerja tidak bisa serta merta meningkatkan produktivitasnya karena perlu waktu, namun demikian juga tidak mungkin menunda pengupahan hingga produktivitas tersebut bisa dicapai karena biaya hidup tentu sudah naik sejalan dengan inflasi, sementara itu juga tidak mungkin bagi pengusaha dan badan usaha untuk bertahan rugi dulu hingga produktivitas bisa dicapai. Jadi apa yang meski kita lakukan untuk mengatasi keadaan itu? Cara yang paling praktis menurut saya adalah dengan menerapkan sistem pengupahan piece rate. Piece rate adalah merupakan besaran upah kerja per unit produk yang dihasilkan oleh pekerja tersebut berdasarkan norms. Norms merupakan rasio antara kerja yang dihasilkan dengan standar waktu yang disepakati tanpa lost time atau rugi rugi waktu. Misalkan norms suatu unit produk adalah 2 UPH (unit per hour), UMR per bulan Rp2,7 juta, maka piece ratenya adalah Rp7.803,47. Jika pada hari itu, terdapat 300 orang pekerja yang menghasilkan 4.200 unit produk tersebut, maka besar upah yang harus dibayarkan pengusaha adalah Rp32.774.566,47 atau Rp109.248,55 per pekerja. Jika pekerja menghabiskan waktu 7 jam dalam memproduksi unit produk tersebut, maka besar upah yang diterima pekerja selama satu bulan bekerja, atau 173 jam adalah Rp2,7 juta, atau sesuai dengan besaran UMRnya. Masalahnya, terdapat lost time akibat perpindahan barang, rework, absensi, briefing, dan lain sebagainya sehingga mesti ditetapkan faktor koreksi produktivitas yang seharusnya bisa disepakati antara Serikat Pekerja dengan Pengusaha. Lost time tersebut menyebabkan pekerja tidak mampu menghasilkan 4.200 unit selama 7 jam bekerja. Misalkan besaran lost time 30%, maka seorang pekerja hanya mampu menghasilkan 2.940 unit produk pada kecepatan normalnya, atau hanya menerima upah Rp1.890.000,00 per bulannya. Dengan faktor koreksi produktivitas 70%, maka seorang pekerja dapat menerima Rp2,7 juta per bulannya pada kecepatan yang normal, artinya jika sipekerja termotivasi meningkatkan produktivitasnya, maka ia bisa menerima upah maksimal Rp3.857.142,86 tiap bulannya. Hal ini tidak akan menjadi masalah bagi pengusaha dan badan usaha, karena rasio biaya tenaga kerjanya tetap diangka 20%, bahkan memberikan dampak positif berupa kesadaran bekerja yang benar dari semua pekerja, yaitu tepat jumlah, waktu dan mutu, mempermudah sistem kontrol dan pengawasan sehingga tercipta kondisi berikut ini:
Selain itu, dengan cara ini, pengusaha juga dapat memotivasi para manajer untuk memperoleh bonus atau komisi dari peningkatan produktivitas yang dicapai, atau dalam bentuk penilaian KPI (key performance indicator) yang menentukan bonus dan kenaikkan gajinya. Perlu juga dipertimbangkan untuk:
Artikel ini masih jauh dari sempurna jika diterapkan secara generik, namun bisa dipraktekan dalam kondisi terbatas di badan usaha pabrikasi padat karya. Secara prinsip, cara ini bisa juga diterapkan pada sektor lain dan bidang kerja non-produksi.
7 Comments
Per 28 Februari 2014, direksi PT Furnilac Primaguna berhasil memenuhi ketentuan Gubernur Banten nomor 561/Kep.582-Huk/2013 mengenai upah minimum regional Tangerang. Program peningkatan produktivitas yang saya terapkan di perusahaan ini telah secara signifikan mampu menurunkan labor cost dari 19,9% pada tahun 2012 menjadi 16,9% pada tahun 2013 sehingga berhasil meyakinkan direksi PT Furnilac Primaguna memenuhi UMK Tangerang. Proses pencapaian ini tentu tidak serta merta diputuskan begitu saja tanpa pertimbangan yang matang. PT Furnilac Primaguna telah menjalankan program peningkatan produktivitas sejak tahun 2012. Saat kenaikan UMK dari tahun 2012 ke 2013, perusahaan masih belum mampu memenuhi UMK secara penuh sehingga mengajukan penundaan kenaikan sebahagian saja, yaitu dari seharusnya sekitar Rp2,2 juta menjadi Rp1,9 juta. Saat itu efisiensi yang berhasil dicapai adalah menekan labor cost dari 19% pada tahun 2011 menjadi 19,9% pada tahun 2012 dengan kenaikan labor cost sekitar 30%. Sehingga penurunan labor cost pada tahun 2013 sebesar 36% (jika dihitung dari proyeksi kenaikan labor cost 33%) telah meyakinkan direksi perusahaan untuk memenuhi UMK dari Rp1,9 juta menjadi Rp2,4 juta. Penting juga dicatat, bahwa peningkatan produktivitas ini tidak melibatkan investasi apapun, seperti mesin, perangkat lunak/keras, dan lain sebagainya kecuali hanya membuat 1 gudang barang jadi karena output produksi yang meningkat tajam. Saya juga membagi tips program peningkatan produktivitas yang saya terapkan di perusahaan ini melalui pelatihan inhouse. Untuk informasi lebih lanjut, silahkan kunjungi website bisnis saya di http://min-consulting.com. Salam/Maskal Kenaikan upah minimum regional dalam beberapa tahun belakangan ini tentu berdampak besar bagi keberlangsungan industri di Indonesia. Karena itu kepatuhan terhadap sistem manajemen mutu dan produktivitas menjadi salah satu kunci keberhasilan pelaku usaha dan industri di Indonesia untuk dapat tetap bersaing dalam pasar global.
Dengan pengalaman saya dibidang produktivitas dan sistem manajemen mutu selama kurang lebih 15 tahun, keberhasilan penerapan kedua sistem tersebut telah secara nyata dapat memberikan kontribusi bagi pengurangan biaya tenaga kerja langsung di beberapa klien yang pernah dan sedang saya tangani. Tabel berikut menunjukkan hasil program produktivitas di salah satu klien saya. ======================================================== Tahun Produktivitas Labor Cost Net Profit ======================================================== 2011 28,3% 18,9% -4,2% 2012 38,6% 19,9% -5,2% 2013 56,5% 16,3% 0,8% ======================================================== Pada tahun 2013 terjadi kenaikan UMR dari Rp 1,6 juta per bulan menjadi Rp 2,2 juta per bulan. Klien saya mendapat penangguhan untuk kenaikan UMR menjadi Rp 1,9 juta atau 20%. Tanpa program produktivitas, mestinya labor cost tahun 2013 menjadi 24%. Jika dihitung dari proyeksi ini maka terjadi penurunan labor cost sebesar 32% akibat peningkatan produktivitas sebesar 46%. Saya senang sekali pengalaman keberhasilan program-program produktivitas yang saya terapkan di klien-klien saya bisa saya bagi kepada anda para pelaku usaha dimana tenaga kerja masih menjadi peran kunci daya saing perusahaan anda. Salam hangat, Maskal Novessro, CPS certified productivity specialist Saya lanjutkan lagi share-nya.... langkah berikutnya adalah:
(9) line balancing dan outsourcing Ada pengertian yang salah kaprah mengenai outsourcing. Dalam ISO 9000, pengertian outsourcing adalah segala proses yang dilakukan diluar organisasi yang mempengaruhi mutu produk/jasa disebut sebagai outsourcing. Hal pertama yang saya lakukan adalah membalans line produksi. Sebagai gambaran, misal proses A = 20 UPH; 1 operator, proses B = 30 UPH; 1 operator, proses C = 40 UPH; 1 operator dan proses D = 10 UPH; 2 operator. Maka output per jam adalah 20 UPH, katakan saja sebagai keadaan 1. Keadaan 2 jika operator A = 2 orang, B = 1 orang, C = 1 orang dan D = 3 orang maka keadaan 2 akan menghasilkan output 30 UPH dengan backlog dititik B sebanyak 10 UPH. Keadaan 3 jika operator A = 3 orang, B = 2 orang, C = 2 orang dan D = 6 orang maka keadaan 3 akan menghasilkan output 60 UPH tanpa backlog. Unit cost keadaan 1 jika labor cost per jam $1 adalah 4 pcs/$, keadaan 2 adalah 4,2 pcs/$ dan keadaan 3 adalah 4,6 pcs/$. Jadi meskipun lebih banyak operator, keadaan 3 lebih produktif dan bisa menghemat biaya produksi. Kadang karena keterbatasan (ruang, mesin, dan sebagainya), proses tidak mungkin dilakukan dalam perusahaan. karena itulah outsourcing bisa menjadi pilihan dalam rangka line balancing ini. Demikian share saya sementara ini. Saya akan share langkah berikutnya. Salam mutu, Maskal Novessro Saya lanjutkan lagi share-nya.... langkah berikutnya adalah:
(8) daur ulang Saat analisis dulu, tumpukan barang reject, waste dan sisa/kelebihan produksi mengambil banyak space perusahaan klien kurang lebih 2000 meter kubik. Saat awal penerapan program 5R, klien sulit me-Ringkas tumpukan ini, walau akhirnya bersedia juga untuk diringkas. Saat ini ruang tersebut sudah berfungsi sebagai area produksi. Dengan perbaikan pada proses produksi, jumlah rework dan reject bisa ditekan. Dengan skedul produksi yang baik dan aliran proses yang lancar akibat aplikasi sistem tarik dapat mengurangi tumpukan WIP dan kelebihan produksi. Akan tetapi, waste tetap sama. Untuk itu, saya perkuat program daur-ulang. Sebelumnya program daur ulang ini sudah ada namun dilakukan setengah hati. Saya membuatnya lebih serius lagi. Saya minta klien saya menyediakan area khusus dengan sekelompok operator produksi yang dikepalai oleh satu orang supervisor. Semua waste dan/atau hasil reject akan secara otomatis masuk dalam proses daur ulang ini, sehingga penanganannya menjadi bagian dari sistem produksi. Kombinasi program daur ulang ini dengan sistem tarik (atau sistem terminal) cukup significant. Tahun 2012 rata-rata WIP senilai 3 milyar rupiah, sedang tahun 2013 (berjalan) nilainya cuma 2 milyar kurang. Material cost juga mengalami penurunan yang cukup berarti sebagaimana telah dijelaskan dibagian awal. Demikian share saya sementara ini. Saya akan share langkah berikutnya. Salam mutu, Maskal Novessro Saya lanjutkan lagi share-nya.... langkah berikutnya adalah:
(4) sasaran mutu dan KPI Meskipun waktu implementasinya agak belakangan, prosesnya sudah dimulai sejak awal analisis. Suatu seni tersendiri mencari KPI (key performance indicator) yang tepat untuk kita masukkan dalam sasaran mutu (quality objective) perusahaan. Sasaran utama perusahaan klien adalah laba bersih tahun 2013 minimal 1,7%. Untuk mencapai laba tersebut, maka biaya variabel seperti: labor cost harus saya tekan maksimal 20,4%. kemudian material cost mesti ditekan maksimal 53,5% dan overhead maksimal 6,8%. Biaya yang lain, seperti biaya penjualan, biaya operasional, dan seterusnya saya asumsikan fix cost. Nah yang perlu saya dalami adalah indikator kunci apa saja yang menentukan biaya variabel di atas?. Berikut adalah indikator kunci perusahaan klien saya:
Dari 3 indikator kunci tersebut, saya coba turunkan (roll down) ke departemen produksi sampai level operator berikut KPI individual lengkap. Selama 3 bulan berjalan, akhirnya saya putuskan untuk menghentikan implementasi KPI karena kesulitan dalam verifikasi data lapangan. SDM perusahaan klien belum siap untuk penerapan KPI. Artinya, saya harus puas dengan sasaran mutu di level top management perusahaan klien. Kalau begitu, bagaimana dengan upaya mengurangi material cost dan overhead? Nantikan share saya selanjutnya. Salam mutu, Maskal Novessro Saya lanjutkan lagi share-nya.... langkah berikutnya adalah:
(3) remunerasi Seiring dengan pembenahan organisasi, saya atur kembali sistem remunerasi karyawan perusahaan klien. Secara umum saya buat matriks remunerasinya berdasarkan golongan dan posisi manajerial. Mulai dari golongan 1 di level operator, junior staff/inspector/supervisor. Golongan 2 di level senior operator, staff/inspector/supervisor dan junior department head. Golongan 3 di level senior staff/inspector/supervisor, department head dan junior manager. Golongan 4 di level senior department head dan manager. Golongan 5 di level senior manager dan director. Tunjangan jabatan diberikan pada posisi manajerial seperti supervisor, department head, manager dan director. Tunjangan makan dan transport diberikan berdasarkan golongan. Upah lembur hanya diberikan pada level operator. Pada posisi staf, supervisor dan departmend head hanya mendapat pengganti lembur. Pada posisi manager dan director tidak ada. Dengan pengaturan ini memudahkan saya melakukan rotasi-mutasi-promosi-demosi di posisi-posisi managerial. Ditambah lagi saya bisa mengendalikan upah lembur berdasarkan kebutuhan produksi langsung sehingga menekan proporsi biaya overhead perusahaan klien. Beberapa pengupahan yang sulit diukur nilai kerjanya seperti tunjangan shift, uang prestasi dan premi hadir saya hilangkan. Bonus diberikan akhir tahun berdasarkan faktor-faktor net profit yang diperoleh perusahaan, gaji pokok karyawan dan nilai KPI (key performance indicator) karyawan ybs. Tidak ada kenaikan apalagi penurunan gaji, yang saya lakukan hanya merapikan sistem penggajian perusahaan klien supaya lebih manageable. Sekian dulu, nantikan share saya selanjutnya. Salam mutu, Maskal Novessro Saya lanjutkan lagi share-nya.... langkah berikutnya adalah:
(2) reorganisasi Seperti telah saya ulas sebelumnya dalam analisis, perbaikan cepat yang bisa saya lakukan segera adalah merapikan organisasi perusahaan klien, dengan cara menempatkan 1 orang supervisor untuk satu kelompok kerja, artinya lebih banyak supervisor ketimbang sebelumnya. Perbandingannya lebih dari 2 kali, yaitu dari cuma 22 supervisor menjadi 52 supervisor saat ini. Kelihatannya kontradiksi dengan program efisiensi yang sedang dijalankan klien saya. Alih-alih meringkaskan organisasi, saya lebih memilih memperbanyak supervisor. Kenapa demikian...? Bagi rekan-rekan yang memahami prinsip-prinsip “lean manufacturing” atau “toyota way” tentu mengerti. Secara sederhana saya akan coba jelaskan begini. Sebelumnya, jumlah operator yang disupervisi tidak rata, ada yang Cuma 5 orang, ada yang lebih dari 40 orang. Selain itu, supervisor bekerja long shift, sedangkan operator bekerja 3 shift, sehingga hirarki organisasi menjadi kacau karena supervisor membawahi operator yang berbeda-beda setiap minggu, atau operator memiliki supervisor yang berbeda setiap shift. Dengan menempatkan satu kelompok dibawah supervisor yang sama, saya berharap organisasi menjadi lebih kuat meskipun jumlah supervisor menjadi bertambah. Akan tetapi bagi perusahaan, kendali sumber daya terutama orang menjadi lebih kuat dan solid. selanjutnya langkah ke-3 akan saya share di posting berikutnya. salam mutu, Maskal Novessro saya lanjutkan lagi sharenya....
dari hasil 2 minggu analisis, saya ambil langkah-langkah berikut: (1) perbaikan cepat seperti sudah saya ulas dalam hasil analisis 2 minggu saya, rata-rata karyawan terutama produksi bekerja hanya 5-6 jam dari 7 jam waktu kerja. artinya ada waktu yang hilang (lost time). kebanyakan waktu yang hilang adalah waktu mulai bekerja dan waktu selesai bekerja yang kontribusinya hampir 80% lost time. 20% nya adalah keluar masuk karyawan saat bekerja, seperti ke toilet, shalat, meeting, dlsb. ini adalah obvious lost time atau waktu yang hilang yang bisa dilihat mata. potensi hidden lost time malah bisa 40% dari waktu produktif, seperti “pacing” yang diakibatkan supply bahan tidak lancar, change-over, reworks, dlsb. jadi sekarang upaya saya adalah membuat alat kontrol sederhana untuk mengatasi “obvious lost time” dahulu. ada 2 alat kontrol yang saya buat:
hasilnya...... luar biasa, dalam kurun waktu 1 minggu saja lost time berkurang hingga 80%, yaitu dari rata-rata 1,5 jam menjadi hanya 15 menit per orang per shift. selanjutnya langkah ke-2 akan saya share di posting berikutnya. salam mutu, Maskal Novessro ibaratnya kita sebagai praktisi manajemen mutu adalah dokter bagi organisasi/perusahaan. seperti metode kerja dokter, tentu mesti ada diagnosis/analisis keadaan pasien (perusahaan/organisasi klien). jadi selama kurang lebih 2 minggu, saya lakukan analisis/diagnosis dulu.
dari hasil analisis/diagnosis, beberapa fakta saya peroleh sebagai berikut:
sebenarnya banyak lagi data kuantitas dan kualitas yang saya temukan dalam analisis, tapi hal-hal di atas merupakan fakta yang sangat nyata terlihat serta berpengaruh besar dalam kaitannya dengan kerugian yang diderita klien saya. sementara saya share ringkasan analisis/diagnosis sederhana saya. berikutnya akan saya share langkah-langkah apa yang saya terapkan. salam mutu, Maskal Novessro |
Categories
All
Archives
November 2015
Ikuti pelatihan online produktivitas untuk lingkup bisnis, pribadi dan rumah tangga
Your organization need assisting in improving productivity and profitability at low cost? come to us
You need a discussion forum of management system such as QMS ISO 9000, TQM, lean mfg., EMS ISO 14000, OHSAS 18000, ISO/TS 16949, six sigma, BSC, and so on? join with us for free.
|